Jiwa mudah memang kerapkali dihinggapi rasa keAKUan, segala
sesuatu harus AKU. Egoisme diri masih sangat mengemuka, pewajahan ekspresi diri
masih sangat dominan, inilah yang menyebabkan generasi mudah umumunya para
remaja mudah sekali untuk mengambil tindakan-tindakan yang tanpa perhitungan terlebih dahulu, berdalih
solidarisme, berlandaskan pertemanan, dan berkedok kesetiaan, sehingga yang
dikedepankan adalah perlawanan terhadap orang-orang yang tidak sepaham terhadap
diri dan golongannya. Inilah tontonan yang sekarang menghiasi layar kaca, yang
menjadi headline disetiap media cetak ‘TAWURAN PELAJARAN DAN MAHASISWA”. Orang-orang
yang akan menjadi penerus estapet pembangunan bangsa ini, orang-orang yang
diharapkan menjadi pemimpin bangsa ini kedepan, ternodai dengan idelisme yang
tanpa perhitungan, solidaritas yang tanpa aturan. Nampaknya tawuran sudah menjadi budaya bangsa ini untuk
menunjukkan eksestensi diri di masyarakat. Kalau kita kaji lebih mendalam, kita
boleh berburuk sangka, bahwasanya hal-hal seperti ini terjadi karena peran dan
fungsi pendidikan tidak diletakkan pada rel yang sebenarnya, fungsi guru yang
seyogyanyya sebagai pendidik sudah bergeser hanya sebagai pengajar, sebab
pendidik yang sejati akan memiliki tanggung jawab moral terhadap perkembangan
dan sikap anak didiknya, mereka mampu menanamkan aturan-aturan moral yang harus
dilaksanakan, mereka mau mengkombinasikan aturan-auran sikap dan prilaku dengan
disiplin ilmu yang mereka ajarkan. Sedangkan pengajar hanya sebatas gugur
kewajiban, orientasipun hanya kepada formalis, tanpa didukung oleh tanggung
jawab moral terhadap anak-anak yang mereka ajar, terbukti dengan diberlakukan
system sertifikasi pendidik, dimana para pengajar diberikan reward yang cukup,
ternyata tidak mampu mengkondisikan fungsi pengajar sebagai pendidik. Guru yang
dulu kita kenal sebagi profesi yang “Tanpa Tanda Jasa”, sekarang justru
sebaliknya, profesi guru dijadikan wahana untuk penghidupan. Kemana ‘Umar Bakri’
yang dulu, kemana para pahlawan pendidikan yang mampu mencetak orang-orang
hebat bangsa ini. Para guru-guru saat ini hanya disibukkan dengan urusan
sertifikasi, sehingga peran dan fungsinya nyaris terabaikan. Pemerintah
seharusnya bisa mengkaji ulang tentang system pemberian sertifikasi terhadap
para guru dan dosen, jangan hanya sertifikasi diberikan kepada guru-guru yang
mampu dalam berkas tetapi lemah dalam kelas, guru-guru yang hanya mampu menjadi
pengajar tetapi tidak mampu menjadi pendidik. Semoga rentetan peristiwa yang
kerap terjadi dan menghiasi layar kaca tidak lagi terulang, sebab TAWURAN
bukanlah suatu cara menuju penyelesaian, TAWURAN hanya akan membawa kerugian
baik pihak yang merasa menang, terlebih pihak yang merasa dikalahkan. Semoga
menjadi renungan kita semua, Jayalah Dunia Pendidikan Indonesia.
Jiwa mudah memang kerapkali dihinggapi rasa keAKUan, segala
sesuatu harus AKU. Egoisme diri masih sangat mengemuka, pewajahan ekspresi diri
masih sangat dominan, inilah yang menyebabkan generasi mudah umumunya para
remaja mudah sekali untuk mengambil tindakan-tindakan yang tanpa perhitungan terlebih dahulu, berdalih
solidarisme, berlandaskan pertemanan, dan berkedok kesetiaan, sehingga yang
dikedepankan adalah perlawanan terhadap orang-orang yang tidak sepaham terhadap
diri dan golongannya. Inilah tontonan yang sekarang menghiasi layar kaca, yang
menjadi headline disetiap media cetak ‘TAWURAN PELAJARAN DAN MAHASISWA”. Orang-orang
yang akan menjadi penerus estapet pembangunan bangsa ini, orang-orang yang
diharapkan menjadi pemimpin bangsa ini kedepan, ternodai dengan idelisme yang
tanpa perhitungan, solidaritas yang tanpa aturan. Nampaknya tawuran sudah menjadi budaya bangsa ini untuk
menunjukkan eksestensi diri di masyarakat. Kalau kita kaji lebih mendalam, kita
boleh berburuk sangka, bahwasanya hal-hal seperti ini terjadi karena peran dan
fungsi pendidikan tidak diletakkan pada rel yang sebenarnya, fungsi guru yang
seyogyanyya sebagai pendidik sudah bergeser hanya sebagai pengajar, sebab
pendidik yang sejati akan memiliki tanggung jawab moral terhadap perkembangan
dan sikap anak didiknya, mereka mampu menanamkan aturan-aturan moral yang harus
dilaksanakan, mereka mau mengkombinasikan aturan-auran sikap dan prilaku dengan
disiplin ilmu yang mereka ajarkan. Sedangkan pengajar hanya sebatas gugur
kewajiban, orientasipun hanya kepada formalis, tanpa didukung oleh tanggung
jawab moral terhadap anak-anak yang mereka ajar, terbukti dengan diberlakukan
system sertifikasi pendidik, dimana para pengajar diberikan reward yang cukup,
ternyata tidak mampu mengkondisikan fungsi pengajar sebagai pendidik. Guru yang
dulu kita kenal sebagi profesi yang “Tanpa Tanda Jasa”, sekarang justru
sebaliknya, profesi guru dijadikan wahana untuk penghidupan. Kemana ‘Umar Bakri’
yang dulu, kemana para pahlawan pendidikan yang mampu mencetak orang-orang
hebat bangsa ini. Para guru-guru saat ini hanya disibukkan dengan urusan
sertifikasi, sehingga peran dan fungsinya nyaris terabaikan. Pemerintah
seharusnya bisa mengkaji ulang tentang system pemberian sertifikasi terhadap
para guru dan dosen, jangan hanya sertifikasi diberikan kepada guru-guru yang
mampu dalam berkas tetapi lemah dalam kelas, guru-guru yang hanya mampu menjadi
pengajar tetapi tidak mampu menjadi pendidik. Semoga rentetan peristiwa yang
kerap terjadi dan menghiasi layar kaca tidak lagi terulang, sebab TAWURAN
bukanlah suatu cara menuju penyelesaian, TAWURAN hanya akan membawa kerugian
baik pihak yang merasa menang, terlebih pihak yang merasa dikalahkan. Semoga
menjadi renungan kita semua, Jayalah Dunia Pendidikan Indonesia.
Global News Indonesia
21.57
Admin
Bandung Indonesia
2 Komentar untuk "TERKIKISNYA FUNGSI PENDIDIKAN “KEMANA PAHLAWAN TANPA TANDA JASA”"
@Hafiz yoga: Miskin Akhlak mungkin... klo materi ana rasa tidak...
Pahlawan sekarang sudah jatuh miskin mungkin dari itu meraka harus mencari Jasa